Setahun, 300 Balita di Bali Terinfeksi HIV/AIDS



SALAH satu permasalahan kesehatan yang masih dihadapi dan memerlukan perhatian serius, sampai saat ini adalah epidemi HIV dan AIDS. Pasalnya, jumlah penderita penyakit yang belum ditemukan obatnya itu tiap tahunnya mengalami peningkatan secara signifikan. Ketua Pokja Humas KPA Bali, Prof. Nyoman Mangku Karmaya mengaku, sekitar 150.000 penduduk Indonesia dilaporkan telah tertular HIV/AIDS. Dari jumlah itu, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali, mencatat sekitar 300 balita pertahunnya terinfeksi HIV/AIDS. “Rata-rata para balita ini tertular HIV/AIDS dari kedua orang tuanya,” ujarnya.
Data ini diperkuat dengan hasil survey yang menunjukkan 1,2 persen dari sekitar 56.000 ibu hamil per tahun di Bali yang positif HIV/AIDS. Di mana rata-rata ibu hamil yang positif terinfeksi HIV/AIDS atau yang menularkan HIV/AIDS kepada anaknya, merupakan bagian dari kelompok beresiko. “Kondisi ini menunjukkan bahwa Bali saat ini masuk dalam kategori daerah yang terancam mengalami pandemi HIV/AIDS,” ucap Karmaya. Lebih lanjut dikatakan Karmaya, yang tergolong ibu-ibu hamil kelompok berisiko di antaranya, ibu hamil bekas pegawai cafe, ibu hamil yang suaminya positif HIV. “Jika ibu hamil telah tertular HIV/AIDS maka bisa dipastikan bila bayinya akan ikut tertular,” katanya.
Sementara, berdasarkan data kumulatif dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali, para remaja dari rentang umur 20 hingga 29 tahun yang menderita HIV sejak tahun 1987 hingga Mei 2013, tercatat sebanyak 3.106 kasus yang telah diketahui. Jumlah tersebut mencapai 39.54 persen dari 7.856 kasus HIV/AIDS di Bali.
Karmaya mengaku, selain balita dan orang dewasa, jumlah penderita HIV/AIDS saat ini paling banyak diderita oleh para remaja. Menurut dia, banyaknya remaja yang terinfeksi virus HIV/AIDS ini disebabkan oleh beberapa hal. Salah satuya faktor intern yakni nafsu seks atau libido yang cukup tinggi yang dialami pada saat usia remaja. “Penyebaran yang paling tinggi pada usia remaja karena hubungan seksual,” katanya.
Tidak itu saja, remaja yang tidak dibekali pengetahuan cukup tentang dampak hubungan seksual, juga memiliki peranan penting dalam melakukan tindakan yang berisiko. Hal ini semakin diperparah dengan factor eksternal yang mendukung terjadinya hubungan berisiko. “Adanya life style hubungan bebas dan tekanan teman sebaya menjadi pengaruh yang luar biasa,” ungkap Karmaya.
Untuk bisa mencegah terjadinya hubungan bebas di kalangan remaja, sambung Karmaya, keluarga memiliki peranan penting. Di mana, keluarga yang baik adalah keluarga yang mampu memberikan perhatian lebih pada putra-putrinya. “Mereka harus dihargai di rumah, orang tua jangan terlalu memaksakan kehendak dan mementingkan diri sediri,” jelasnya.

Sumber :  denpostnews.com




Baca juga

Posting Komentar